Thursday 2 July 2015

Etnobotani : Tumbuhan Liar Sebagai Sayuran

Tugas Etnobotani

MAKALAH

TUMBUHAN LIAR SEBAGAI SAYURAN

 

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Etnobotani merupakan suatu cabang etnosains yang khusus mengkaji persepsi dan pengetahuan penduduk tentang jenis-jenis tumbuhan, penamaan, pengklasifikasian, pemanfaatan dan pengelolaan jenis-jenis tumbuhan (Martin, 1995).

Penelitian etnobotani mampu mengungkapkan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya alam tumbuhan secara tradisional oleh masyarakat setempat yang merupakan titik awal pengembangannya menjadi jenis unggulan yang bermanfaat bagi kepentingan masyarakat banyak. Sayuran indigenous atau sering disebut jenis sayuran lokal adalah sayuran asli daerah yang sudah beradaptasi lama dan sudah dimanfaatkan oleh penduduk setempat, atau sayuran introduksi yang telah berkembang lama dan dikenal masyarakat di suatu daerah tertentu. Beberapa sayuran lokal yang saat ini banyak ditemukan dan dikonsumsi masyarakat adalah pakis, genjer, takokak, semanggi, dan masih banyak lagi jenis sayuran lainnya. Jenis sayuran tersebut tidak dibudidayakan secara khusus dan beberapa diantaranya merupakan tanaman sayuran hutan yang bersifat endemik (spesifik lokal) yang tumbuh liar tanpa campur tangan manusia.

Sayuran merupakan sumber pangan nabati yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia untuk melangsungkan kehidupannya. Namun demikian, tidak semua orang menyukai sayuran yang sama, biasanya tergantung pada latar belakang keluarga. Dalam hal ini, keluarga merupakan agen pembawa pengetahuan dari suku yang menurunkan keluarga tersebut. Oleh sebab itu, pengetahuan dari suku yang berbeda akan berbeda pula, tergantung dari budaya setiap suku (Waluyo,1993 dalam Hendra, 2002). Menurut Susiarti dan Setyowati (2005) bahwa tiap etnis mempunyai kekhasan tersendiri dalam mengelola tumbuhan untuk dijadikan masakan tradisional. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan pembuatan makalah tentang pemanfaatan tumbuhan liar oleh masyarakat sebagai sayuran.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini yaitu apa saja jenis tumbuhan liar yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sayuran?

C. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui jenis tumbuhan liar yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sayuran.

D. Manfaat

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah dapat mengetahui jenis tumbuhan liar yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sayuran.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tumbuhan Liar

Tumbuhan liar merupakan tumbuhan yang hidup dengan sendirinya tanpa ada campur tangan dari manusia, tumbuhan ini dapat hidup dimana saja selama tempat itu bisa mendukung untuk pertumbuhan. Tumbuhan liar umumnya adalah tumbuhan yang tidak diinginkan keberadaannya karena selain dianggap sebagai gulma juga merupakan penggangu pemandangan khususnya dipekarangan depan rumah atau tempat-tempat yang tidak seharusnya ada tanaman liar tersebut. Namun dibalik semua itu ternyata tumbuhan liar yang ada pada masyarakat-masyarakat tradisional memanfaatkan tumbuhan liar sebagai obat dan sayuran untuk dikomsumsi.

B. Sayuran

Sayuran merupakan sebutan umum bagi bahan pangan asal tumbuhan yang biasanya mengandung kadar air tinggi dan dikonsumsi dalam keadaan segar atau setelah diolah secara minimal. Sebutan untuk beraneka jenis sayuran disebut sebagai sayur-sayuran atau sayur-mayur. Sejumlah sayuran dapat dikonsumsi mentah tanpa dimasak sebelumnya, sementara yang lainnya harus diolah terlebih dahulu dengan cara direbus, dikukus atau diuapkan, digoreng (agak jarang), atau disangrai. Sayuran berbentuk daun yang dimakan mentah disebut sebagai lalapan. Sayuran dikonsumsi dengan cara yang sangat bermacam-macam, baik sebagai bagian dari menu utama maupun sebagai makanan sampingan (Wikipedia, 2015).

Kandungan nutrisi antara sayuran yang satu dan sayuran yang lain pun berbeda-beda, meski umumnya sayuran mengandung sedikit protein atau lemak, dengan jumlah vitamin, provitamin, mineral, fiber dan karbohidrat yang bermacam-macam. Beberapa jenis sayuran bahkan telah diklaim mengandung zat antioksidan, antibakteri, antijamur, maupun zat anti racun. Namun, seringkali sayuran juga mengandung racun dan antinutrients seperti α-solanin, α-chaconine, enzim inhibitor (dari cholinesterase, protease, amilase, dsb), sianida dan sianida prekursor, asam oksalat, dan banyak lagi. Tergantung pada konsentrasi, senyawa tersebut dapat mengurangi sifat dapat dimakan, nilai gizi, dan manfaat kesehatan dari diet sayuran.

C. Tumbuhan Liar Sebagai Sayuran

Dibawah ini beberapa tanaman liar yang dimanfaatkan masyarakat sebagai sayuran, anatara lain:

1. Pakis Sayur (Diplazium esculentum)

clip_image005clip_image003

Diplazium esculentum (Retz.) Swartz merupakan tumbuhan Paku, salah satu anggota Suku Polypodiaceae yang sering disebut sebagai Pakis oleh masyarakat Jember. Jenis ini sangat digemari tidak hanya oleh etnis Madura dan Jawa tetapi oleh masyarakat Jember pada umumnya. Daun muda yang masih melingkar-lingkar pada ibu tangkainya tersebut biasa diolah dalam masakan seperti tumis, sayur asem, dan beberapa masakan dengan santan (lodeh, sayur pedes, sayur gurih). Di Kalimantan, suku Dayak Kenyah menggunakan daun muda dan batang muda Diplazium esculentum (Retz.) Swartz (Polypodiaceae) sebagai bahan sayur yang dapat direbus atau dioseng atau dibakar dalam bambu (Hendra, 2002). Sedang suku Yali yang mendiami lembah Sibi di Papua Barat (Irian Jaya) memanfaatkan daun muda dari Diplazium jenis yang lain, yaitu Diplazium spectabilis (Mett.) Ching and Diplazium sp. untuk dimakan (Milliken, 1992). Di pulau yang sama, di Papua Nugini daun muda Diplazium esculentum (Retz.) Swartz dan juga beberapa jenis Diplazium lainnya direbus lalu dimakan dengan atau tanpa sayuran yang lain (Croft, 1982). Diplazium esculentum (Retz.) Swartz mudah didapatkan di pasar-pasar tradisional di Jember. Jenis ini juga dijumpai di sekitar Bogor yang dijual di pasar-pasar sebagai sayuran (LIPI, 1979). Kemudian di India, khususnya di Jammu dan Kashmir State, daun muda tumbuhan ini dimasak sebagai sayur (Kirn and Kapahi, 2001), tetapi tidak diinformasikan mengenai cara memasaknya dan nama masakannya. Selanjutnya, di Malaysia daun muda dari jenis Paku ini dimakan sebagai salad atau sayur sesudah dimasak (Mannan et al., 2008).

2. Genjer (Limnocharis flava)

clip_image008clip_image006

Limnocharis flava Buchenau adalah tumbuhan herba air dengan memiliki daun tunggal yang tersusun roset akar, pertulangan melengkung (Tjitrosoepomo, 1988) dan bertangkai cukup panjang (Soerjani, 1987). Pada umumnya, tumbuhan ini sudah banyak dikenal sebagai sayuran di beberapa daerah di Indonesia, seperti di sekitar kawasan Gunung Salak (Suwena, 2007), dan di Jawa Barat pada umumnya (Bergh, 1994). Di Jember, jenis ini dapat dibeli di berbagai pasar tradisional setiap hari. Etnis Jawa dan Madura mengolah jenis ini menjadi beberapa masakan, seperti pecel, urapan, tumis, oseng-oseng. Bahkan, sering disiapkan bersama-sama dengan sayuran lain untuk disajikan dengan nasi jagung. Bagian yang sering digunakan untuk sayuran adalah daun muda dengan tangkainya dan tumbuhan muda dengan kuncup bunganya (Bergh, 1994). Di Jember jenis ini dapat dibeli di pasar tradisional setiap hari. Di Jawa Barat juga dilaporkan bahwa Limnocharis flava Buchenau sudah diperjualbelikan di pasar (Soerjani, 1987).

3. Semanggi (Marsilea crenata)

clip_image011clip_image009

Daun tumbuhan ini (biasanya M. crenata). Marsilea crenata C. Presl. merupakan salah satu jenis tumbuhan paku air dengan daun majemuk beranak daun tiga (ada yang empat), tangkai panjang sampai 30 cm (Soerjani, 1987). Jenis ini dapat diketemukan di sawah, sungai (tepi saluran irigasi) atau di genangan air. Daun muda dari jenis ini sering dimakan (Soerjani, 1987), biasa dijadikan bahan makanan yang dikenal sebagai pecel semanggi, khas dari daerah Surabaya. Organ penyimpan spora (disebut sporokarp) M. drummondii juga dimanfaatkan oleh penduduk asli Australia (aborigin) sebagai bahan makanan. Demikian juga di Jember terutama masyarakat Madura di beberapa wilayah seperti di kecamatan Sukorambi, Panti, Arjasa, dan sebagian masyarakat Madura di Rambipuji. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah daun dan tangkainya, biasanya direbus untuk pecel, urapan atau dimasak langsung dalam sayur bening (bawang kunci).

Semanggi M. crenata diketahui mengandung fitoestrogen (estrogen tumbuhan) yang berpotensi mencegah osteoporesis. Tumbuhan ini juga berpotensi sebagai tumbuhan bioremediasi, karena mampu menyerap logam berat Cd dan Pb. Kemampuan ini perlu diwaspadai dalam penggunaan daun semanggi sebagai bahan makanan, terutama bila daunnya diambil dari lahan tercemar logam berat.

4. Boboan (Cleome rutidosperma)

clip_image014clip_image012

Cleome rutidosperma D.C merupakan herba tegak dengan daun majemuk beranak–daun tiga dan batang bersegi (Soerjani, 1987). Tumbuhan ini merupakan bahan sayur di wilayah kawasan Gunung Salak (Suwena, 2007). Demikian juga di Jember, tumbuhan ini dimanfatkan untuk sayur bening oleh sebagian masyarakat Madura di wilayah kecamatan Sukorambi dan sebagian di Rambipuji. Meskipun jenis ini kadang-kadang saja di masak sendiri, beberapa masyarakat ada yang hampir setiap hari mencari untuk dijual ke pasar tradisional. Masyarakat Using di desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi memasak daun Cleome rutidosperma D.C ini untuk membuat sayur asem (Wulandari, 2007). Penduduk Using selalu membawa beberapa jenis tumbuhan bahan sayuran yang akan dimasak hari itu sepulang dari kebun atau tegalan atau sawah. Daun yang masih mentah berasa pahit, tetapi akan berkurang rasa pahitnya setelah direbus atau dimasak (Chayamarit, 1994).

5. Telpok atau Krayap (Trianthema portulacastrum)

clip_image017clip_image015

Trianthema portulacastrum (L.) Urb. adalah suatu jenis tumbuhan anggota suku Aizoaceae yang merupakan tumbuhan liar dan biasanya dijumpai hidup di sawah kering atau ladang dengan tanaman palawija. Oleh sebab itu, tidak selalu ada di pasar tradisional karena pada musim tanam padi jenis ini hanya dapat dijumpai di wilayah tertentu. Jenis ini memiliki daun yang agak tebal (succulent) sehingga tampak seperti krokot (Portulacaceae), namun daun lebih lebar dengan tepi daun berwarna merah, bentuk membulat, batang mengandung air, percabangan simpodial, merayap menutup permukaan tanah. Di Jember, etnis Jawa dan Madura lebih akrab menyebutnya sebagai krayap atau telpok. Etnis Madura di beberapa wilayah antara lain di kecamatan Sukorambi, Patrang dan beberapa wilayah di Jember bagian utara memanfaatkannya sebagai bahan sayuran. Namun, sebagian etnis yang lain juga sering memasak sayuran ini, di beberapa wilayah selatan seperti di sebagian kecamatan Ambulu, Tempurejo, dan Semboro. Biasanya jenis ini dimasak dengan cara direbus untuk dibuat pecel, lalapan, dan urapan. Pada penyajiannya, umumnya bersama dengan sayuran lain, ikan asin, dan sambal disajikan dengan nasi jagung.

6. Junggul, Jonggol, Jonggolan (Erechtites valerianifolia Raf)

clip_image020clip_image018

Erechtites valerianifolia Raf. sebagai sayur mayur dengan peruntukan yang sama (Wulandari et al., 2007). Di Jember, jenis- jenis Erechtites valerianifolia Raf. dan biasa dimanfaatkan sebagai sayuran oleh masyarakat di wilayah Ambulu, khususnya di wilayah desa Andongrejo, yaitu desa yang berdekatan dengan wilayah Taman Nasional Meru Betiri dan merupakan daerah penyangga yang banyak didiami etnis Jawa. Jenis-jenis tumbuhan tersebut sering diambil dari kebun atau di sekitar tempat tinggal sehingga tidak perlu membeli di pasar, meskipun jenis Erechtites valerianifolia Raf. sering dijual di pasar-pasar tradisional. Erechtites valerianifolia Raf. sebagai tumbuhan liar sejak dulu sudah dimakan sebagai sayur di Jawa, dijual di pasar tradisional tapi belum ada informasi tentang budidayanya (Rifai, 1994). Di sekitar kawasan Gunung Salak, termasuk tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai sayuran.

7. Takokak (Solanum torvum)

clip_image023clip_image021

Pohon takokak merupakan tumbuhan liar yang dikenal tahan penyakit yang menyerang batang dan biasa dijadikan batang bawah untuk terung, meskipun praktik ini hanya dipakai bagi pertanaman di pekarangan. Buahnya bisa dimakan, baik yang muda maupun yang tua. Orang Mandailing / Tapanuli biasanya menggunakan rimbang sebagai campuran sayur daun ubi tumbuk (daun singkong tumbuk), penggunaan buah takokak umum di dalam masakan Sunda, dan diperlakukan seperti ranti (leunca), yaitu dijadikan lalap atau dimasak sayur. Di Thailand, buah takokak muda menjadi bagian dari kari sayur yang populer. Orang Laos dan Kamboja juga memanfaatkan buahnya. Menurut penelitian (anonim) takokak dapat dijadikan bahan alami untuk menahan kesuburan pria (inaktif-sperma) secara temporer/sementara selama kurang lebih 40 hari apabila dimakan, apabila konsumsi takokak dihentikan akan kembali normal (sebagai kontrasepsi alamiah).

8. Kenikir (Cosmos caudatus)

clip_image026clip_image024

Kenikir atau ulam raja merupakan tumbuhan tropis yang berasal dari Amerika Latin, Amerika Tengah, tetapi tumbuh liar dan mudah didapati di Florida, Amerika Serikat, serta di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Spesies ini dibawa ke Asia Tenggara melalui Filipina oleh Spanyol. Kenikir adalah anggota dari Asteraceae. Manakala tumbuhan bunga yang berwarna kuning jarang digunakannya sebagai ulam, yang berwarna ungu merupakan sayuran salad yang sangat populer dimakan mentah bersama nasi atau dicacah dengan budu, sambal terasi, tempoyak, serta cincalok. Spesies ini disebut ulam raja di Malaysia yang berarti salad raja.

Kenikir adalah tumbuhan tahunan yang berbatang pipa dengan garis-garis yang membujur. Tingginya dapat mencapai 1 m dan daunnya bertangkai panjang dan duduk daunnya berhadapan, sehingga terbagi menyirip menjadi 2-3 tangkai. Baunya seperti damar apabila diremas. Bunganya tersusun pada bongkol yang banyak terdapat di ujung batang dan pada ketiak daun-daun teratas, berwarma oranye. Berbintik-bintik kuning di tengah-tengahnya, dan bijinya berbentuk paruh.

Daun kenikir yang masih muda dan pucuknya dapat digunakan untuk sayuran, dimakan mentah-mentah dan direbus lalap. Masyarakat Jawa sudah biasa menggunakan sebagai salah satu pelengkap pecel. Sayuran ini dapat ditemui di pasar-pasar. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk penyedap dan merangsang nafsu makan. Dilaporkan, kenikir dapat mengusir serangga (dengan menanam kenikir di antara tumbuhan tersebut, dan alang-alang. Tumbuhan ini dapat diperbanyak dengan biji, namun sayang sekali tumbuhan ini pada musim hujan mudah diserang hama jamur.

9. Calingcing (Oxalis corniculata Linn)

clip_image029clip_image027

Calingcing (Oxalis corniculata L.) merupakan herba perrenial, berakar tunggang agak keras dan di setiap nodus muncul perakaran (Hall, 1991), batang bercabang banyak, tumbuh merayap atau tegak (Soerjani, 1987) yang tumbuh liar di berbagai tempat seperti di tanah-tanah kosong, pekarangan dll. Tumbuhan ini sering dimanfaatkan sebagai salah satu tumbuhan obat tradisional untuk demam dan patah tulang di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali (Sudirga, tanpa tahun). Namun, di Jember sebagian mayarakat etnis Madura, utamanya yang tinggal di kecamatan Rambipuji, dan Panti, memanfaatkannya sebagai sayuran. Masyarakat tersebut menyebut tumbuhan ini sebagai semanggi juga. Biasanya, bagian daun dan tangkainya dimasak untuk sayur bening dan sayur asem. Oleh karena bagian ini sangat lunak, maka daun dan tangkai Oxalis corniculata L. biasanya dimasukkan ketika kuah/air sudah mendidih dan segera diangkat untuk disajikan dengan sambal dan ikan asin. Demikian juga, masyarakat di sekitar kawasan Gunung Salak memanfaatkan Oxalis corniculata L. ini sebagai sayuran (Suwena, 2007), meskipun tidak dijelaskan jenis olahan dan cara memasaknya.

10. Sintrong (Crassocephalum crepidioides)

clip_image032clip_image030

Sintrong (Crassocephalum crepidioides) adalah sejenis tumbuhan anggota suku Asteraceae. Terna ini umumnya ditemukan liar sebagai gulma di tepi jalan, di kebun-kebun pekarangan, atau pada lahan-lahan terlantar; pada ketinggian di atas 200 m dpl. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini dikenal sebagai ebolo, thickhead, redflower ragleaf, atau fireweed. Di Indonesia, biasa tumbuhan ini disebut bagini, jambrong, tespong (Sunda), jombloh, mandrung-mandrung, puyung dantaplek (Jawa). Sintrong memiliki asal usul dari Afrika tropis, kini telah menyebar ke seluruh wilayah tropika di Asia. Di Indonesia, gulma ini tercatat dijumpai pertama kali di dekat Medan pada tahun 1926. Dari sini dibawa ke Jawa, dan kemudian meliar dan menyebar ke seluruh Nusantara.

Tumbuhan ini kerap ditemui di tanah-tanah terlantar yang subur, tepi sungai, tepi jalan, kebun-kebun teh dan kina, terutama di bagian yang lembap, hingga ketinggian 2.500 m dpl. Juga di sawah-sawah yang mengering. Biji-biji (buah) menyebar dengan bantuan angin. Walaupun berbunga sepanjang tahun, terna ini merupakan tumbuhan pengganggu yang relatif mudah diatasi. Sintrong merupakan lalap yang digemari di Jawa Barat, dan juga sayuran. Di Afrika, selain dimanfaatkan sebagai sayuran, beberapa bagian tanaman sintrong digunakan sebagai bahan obat tradisional; di antaranya untuk mengatasi gangguan perut, sakit kepala, luka, dan lain-lain. Sintrong ini bersifat sedikit astringen, dan bersifat netral. Ia bersifat antiradang, hemostatis, tonikum, pencahar, dan emetik (perangsang muntah). Herba tumbuhan ini bisa digunakan untuk mengobati demam, radang amandel, dan eksim. Gulma ini juga disukai sebagai pakan ternak. Meskipun demikian tumbuhan ini ditengarai mengandung alkaloida pirolizidina yang bisa memicu tumor, seperti sambung nyawa yang bisa memicu kerusakan hati.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan pada makalah ini yaitu tanaman liar yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk sayuran antara lain adalah tanaman pakis sayur (Diplazium esculentum), genjer (Limnocharis flava), semanggi (Marsilea crenata), boboan (Cleome rutidosperma), telpok atau krayap (Trianthema portulacastrum), junggul/jonggol atau jonggolan (Erechtites valerianifolia Raf), takokak (Solanum torvum), kenikir (Cosmos caudatus), calingcing (Oxalis corniculata L.), dan sintrong (Crassocephalum crepidioides).

B. Saran

Saran yang dapat saya ajukan pada makalah ini yaitu dengan adanya tumbuhan liar sebagai sayuran maka hendaknya kita juga dapat memanfaatkan tumbuhan liar itu untuk kita konsumsi.

DAFTAR PUSATAKA

Hall, David W, Vernon V.V, Brent A, Sellers, 1991, Creeping Wood Sorrel, Oxalis corniculata L. Southern Yellow Wood Sorrel, http://edis.ifas.ufl.edu/ pdffiles/FW/ FW02900.pdf. 1 (diakses 1 Mei 2015).

Hendra M., 2002, Pemanfaatan Tumbuhan Buah-Buahan dan Sayuran Liar Oleh Suku Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, http://rudyct.com/PPS702-ipb/05123/medi_hendra.html (diakses 17 April 2015).

Mannan, M., 2008, A Review on the Potential Uses of Ferns, Ethnobotanical Leaflets 12: 281–285.

Martin G.J., 1995, Ethnobotany: A Methods Manual, Chapman & Hall, London.

Soerjani, M, Kostermans, dan Tjitrosoepomo, G., 1987, Weeds of Rice in Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.

Susiarti, Siti, dan Setyowati F.M., 2005, Bahan Rempah Tradisional dari Masyarakat Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, J. Biodiversitas, 4(6), 289–290.

Suwena, M., 2007, Keanekaragaman Tumbuhan Liar Edible pada Ekosistem Sawah di Sekitar Kawasan Hutan Gunung Salak, http://ejournal.unud.ac.id /abstrak/naskah_suwena_gunung_salak_5.pdf (Diakses 20 April 2015).

Tjitrosoepomo G, 1988. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta), Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wikipedia, 2015, Sayuran, http://id.wikipedia.org/wiki/Sayuran (diakses pada tanggal 30 April 2015)

Wulandari R, Martha LH, Vivi A, Muttaqinah N, dan Aliyah A, 2007. Etnobotani Masyarakat Using Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi. Laporan Studi Lapangan Mata Kuliah Etnobotani. Jember. 9–10 (Unpublished).

1 comment: